Sastra dan Kebudayaan Toraja Untuk Kelas VIII SLTP

Buku Pelajaran
Sastra dan Kebudayaan Toraja
Untuk Kelas VIII SLTP







Marlin Septiani P
Meinar Sari
Melki Rante Tondok
Marianto Bungka Pasila
Joni Sombo Danun
Sudirman
Herman Banturi




Makassar | 2011

Kata Pengantar

Buku ini merupakan salah satu media pendukung dalam proses pembelajaran di kelas khususnya bahasa daerah yakni bahasa Toraja serta dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menambah ilmu pengetahuan tentang sastra dan kebudayaan masyarakat Toraja. Atas berkat, rahmat dan hidayahNya sehingga buku ini dapat diselesaikan tepat waktu meski disadai masih memiliki banyak kekurangan.
Tak lupa penulis menyampaikan banyak terima kasih atas segala bantuan dari berbagai pihak, baik dari segi moril atau pun materil. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak, kepada keluarga tercinta, teman-teman terkasih dan berbagai pihak yang dengan setianya memberi dukungan dan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan buku ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sembah sujud dan ucapan terima kasih penulis sampaikn kepada orangtua tercinta yang senantiasa mendoakan penulis agar mendapat kemudahan dalam setiap perjalan nya. Selain itu penulis

mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang tak terhinggs kepada dosen pembimbing yang dicintai, Dra.Gusnawati , atas segala kemurahan hatinya membagi ilmu dan membimbing kami dalam setiap pemebrian materi .
Terima kasih Tuhan untuk segala kekuatan dan kesabaran yang Engkau berikan untuk menyelesaikan buku ini. Meski begitu tak lupa penulis ucapkan maaf yang terlebih atas segala kekurangan yang ada pada buku in. Penulis sangat menyadari akan banyaknya kekurangan yang terdapat pada buku ini. Oleh karenanya, penulis mengharapkan segala bentuk dukungan walau pun dalm bentuk kritikan yang tentunya dapat membangun dan memberi arahan yang lebih baik untuk pembuatan buku selanjutnya.Dengan adanya buku ini, penulis berharap agar buku ini dapat bermanfaat bagi setiap pembaca dan dapat mengamalkan isi dari buku ini. Semoga buku ini dapat menjadi salah satu media penunjang pendidikan yang bermutu. Amin..


Makassar, Desember 2011

Tim Penulis



DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………….…1
KATA PENGANTAR …………………………………………..….…. 2
DAFTAR ISI………………………………………………...……… .…4
PENDAHULUAN :…………………………………………..……… ..5
MATERI PEMBELAJARAN SEMESTER 2
Bab I. Sejarah Kebudayaan Toraja…………………………………..6-15
Bab II. Tongkonan Sebagai Rumah Adat Rumpun Keluarga………16-26
Bab III. Tarian Pitu…………………………………………………...27-41
Bab IV. Tongkonan Sebagai Pusat Ilmu dan Kehidupan Generasi…42-49
Bab V. Tarian Khas Toraja……………………………………………50-52
Bab VI. Peninggalan Bersejarah……………………………………....53-58
GLOSARIUM……………………………………………………………59
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………60







Pendahuluan

Sekolah merupakan suatu lembaga dengan organisasi yang tersusun dengan rapi dimana aktivitas-aktivitasnya direncanakan dengan sengaja. Dalam melaksanakan tugas dan peranannya, sekolah harus mempunyai komponen atau hal-hal yang mendukung untuk keberlangsungan kegiatan tersebut. Misalnya saja guru dan buku teks sebagai vahan ajar . Guru adalah komponen penting dalam sebuah sistem pendidikan, guru sebagai fasilitator dalam kelas, tidak hanya membagi ilmu namun juga mendidik siswa menjadi seseorang yang lebih baik. Selain guru, buku teks pun jauh lebih penting sebab dengan buku teks, seorang guru dapat memberikan pelajaran dengan lebih mudah dan berkualitas.
Pada buku teks yang berjudul Sastra dan Kebudayaan Toraja, disajikan berbagai materi yang membahas tentang segala sastra dan kebudayaan yang terdapat di wilayah Toraja, yang harus diperkenalkan pada msyarakat khususnya pada generasi muda.
Toraja merupakan salah satu daerah di Sulawesi Selatan yang memiliki banyak warisan leluhur, baik itu sastra dan budaya. Namun tak ada gunanya segala peninggalan leluhur itu, apabila tidak dipelihara dan dilestarikan oleh masyarakat. Melestarikan suatu budaya tidak hanya bergantung pada siapa pemilik asli dari budaya itu, namun orang lain pun memiliki tanggiung jawab penuh terhadap segala budaya itu, walau pun bukan pemilik asli dari budaya itu.





















Kebudayaan suku torajaMateri Pembelajaran
BAB 1

SEJARAH KEBUDAYAAN TORAJA
A. PENDAHULUAN
Mata Pelajaran : Sastra dan Kebudayaan Suku Toraja (MULO)
Kelas/Semester : VIII /II (dua)
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Pertemuan
• Sasaran Pembelajaran
Siswa diharapkan mampu :
• Mengetahui kedatangan leluhur orang Toraja To Manururn di Langi’, To Bu’tu ri uai dan To Sae dio mai Engko’na Padang.
• Mengetahui asal usul leluhur orang Toraja.


B. Bahan pembelajaran
1.1 Kedatangan Leluhur Orang Toraja Dengan Gelaran To manurung di Langi’, To Bu’tu ri Uai, To Sae diomai Engkokna Padang
Gelar daerah Toraja sebagai Padang Lepongan Bulan Padang Nagonting Matarik Allo itu sangat erat kaitannya dengan leluhur sebagi To Manurung di Langi’, To Bu’tu ri Uai na To sae dio mai engkokna padang dengan silsilah :












Silsilah To Manurun di Langi’ yang bernama Puang Bura langi’ menikah dengan Kembong di Bura melahirkan Pong
Mula Tau. Pong Mula Tau menikah dengan Sanda Bilik melahirkan anak laki-laki dua orang, yaitu :
1. Londong di Rura
2. Londong di Langi’
Kembong di Bura adalah To Bu’tu ri Uai yang kemungkinannya dating melalui perahu atau lembang.

Ribuan tahun yang lalu daerah Lepongan bulan Matari’ Allo itu masih digenangi air dan yang muncul di permukaan hanyalah gunung-gunung seperti Sesean, Sopai, Kandora, Kairo, Singki, Nonongan, Buntu DAtu, Sarira, Buntu Marinding, dan lain-lain. Konon dahulu kala ada leluhur di Rano yang berhasil membuka terobosan air di Sapan Deata, sehingga terjadilah dataran rendah di Rantepao dan Makale. Bukti dari cerita nenek moyang toraja ini masih ada yaitu , bahwa digunung-gunung tersebut di atas terdapat bekas karang laut, siput dan sebagainya.
Hal ini juga didukung oleh buku sejarah Sulawesi Selatan yang dikarang oleh bapak Prof. Dr. H. A. Mattulada yang mengatakan bahwa ada empat puluh perahu nenek moyang meneruskan pelayarannya ke Lepongan Bulan Matarik Allo dan mereka itulah yang mendirikan Tongkonan Layuk.

Dr. L.T Tangdilintin dalam bukunya Sejarah Lepongan Bulan Matarik Allo yang diterbitkan oleh Yayasan Lepongan bulan tahun 1974 mengatakan bahwa nenek moyang orang toraja datang dengan iringan-iringan perahu atau lembang dan disebut sebagai To arroan.


Dahulu sebelum ada dataran rendah yang mampu hanya pulau-pulau kecil dan sekarang ini dikenal sebagai gunung atau buntu. Perahu tiba di pulau dan masing-masing memilih pulau sebagai daerah kekuasaannya. Pong suloara’ langi di Kairo, Puang Londong di Langi’ di buntu Marinding puang to membali buntu di nonongan, Puang To Manurun di Kesu’ di buntu kesu’ dan masih banyak lagi akan di kemukakan pada kesempatan berikut.
Dari atas gunung leluhur memandang jauh sekeliling sejauh mata memandang dan yang Nampak adalah bahwa daerah ini bundar seperti bulan dan digelari Padang Lepongan Bulan. Pada waktu matahari sedang naik dan menyinari tanah sekeliling leluhur mengatakan dengan gelar Padang Nagonting Matarik Allo. Jadilah satu nama yang Simuane Tallang Silau’ Eran yaitu : Padang Lepongan Bulan, Padang Nagonting Matarik Allo.Gelar daerah ini menjadi popular dari waktu ke waktu bahkan lebih berkembang memasuki era informasi yang global di abad ke-21 dalam pembangunan daerah dan

bangsa Indonesia. Ada hal yang unik dan menarik sehingga dikatakan orang sejuta pesona. Orang yang datang dari luar mengatakan demikian dan oleh sebab itu generasi muda Tongkonan perlu mengkaji dan mengenal potensi itu.
Penampilan orang toraja dan penampilan daerah Lepongan Bulan Matarik Allo inilah yang wisatawan mancanegara sebut : TORAJA PERFORMANCE
Penampilan orang toraja lebih banyak dilihat dari segi adat budaya saja yakni penilaian budaya Rambu Tuka’ dan Rambu solo’, tetapi sebenarnya masih ada yang lain. Penampilan daerah Lepongan Bulan Matarik Allo adalah keindahan alam yang masih asli dimana menyebar rumah adat rumpun betung dan bamboo, pohon enau dan hamparan sawah serta ladang.
Wisatawan mancanegara melihat keindahan ala mini dari atas gunung dan mengatakan Beautiful Toraja Land.
1.2 Asal Usul Nama Suku Toraja
Pada mulanya suku toraja oleh nenek moyang disebut Toraa. Mengapa sekarang ini menjadi orang toraja itu disebabkan karena perkembangan sejarah dan bahasa Indonesia. Secara evolusi dapat dikemukakan perubahan sebagai berikut :
Toraa Toriaja

Toriaja Tomaraya/Toraya
Toraya Toraja
Toraa jika melakukan perjalanan ke pantai seperti ke Luwu, Pare-Pare, Mandar, Mamuju, Lumpandang dan lainnya disebut oleh orang pantai sebagai orang yang datang dari atas gunung atau toriaja, To poleyase’. Mungkin sama halnya dengan Jeneponto di Makassar di sebut To Batturate.
Proses Toriaja menjadi Toraya atau To Maraya terjadi oleh karena sopan santun leluhur orang Toraja itu cukup tinggi dinampakkan kepada dunia luar. Pemimpin yang digelari Siambe’ Puang Tallu Lembang Tallu Batu Papan, Ma’dika Matasak , Kayu Kalandona Tondok cukup disegani karena Aluk Adat Na Pemali. Penampilan mereka kedunia luar cukup meyakinkan karena memiliki wibawa kepemimpinan yang disebut Tallu Silolok yaitu :
 Manarang na Kinaa

 Sugi’ na Baranai
 Bida
Akhirnya dengan perkembangan bahasa Indonesia dengan mudah nama suku Toraja berubah menjadi Toraja, Suku Toraja, orang toraja dan daerah Tana Toraja.

Di Sulawesi selatan dikenal empat etnis, yaitu :
1. Etnis Bugis
2. Etnis Makassar
3. Etnis Mandar
4. Etnis Toraja
Banyak hal dan kejadian pada masa lampau dimana suku toraja mendapat kesulitan bahkan ejekan dari pihak yang tidak memahami. Orang katakana Toraja itu adalah keturunan raja dan sebahagiaan mengatakan omong kosong. Tidak perlu orang toraja marah atau kecewa, biarlah orang mengatakan demikian karena memang mereka tidak tahu bahwa bahasalah yang menyebabkan perubahan ejaan.
Namun demikian sejarah menyatakan bahwa Puang Lakipadada menikah dengan cucu raja gowa yang bernama Andi Tara Lolo dan melahirkan anak-anaknya yang menyebar menjadi :
Somba ri Gowa
Mangkau’ ri Bone
Payung ri Lueu
Botto ri Torajae/ Matasak ri Sangalla’




Petta La Bantan kembali ke Lepongan Bulan Padang Nagonting Matarik Allo dan menurut cerita leluhur perahunya diikat dipantai Bungi’ di Enrekang. Ia berjalan menyusuri sungai Sa’dan sampai di Sapan Deata dan terus ke Makale di buntu Bungi’ yang sekarang ini dikenal dengan nam Buntu Bungin.
Petta La Bantan sule langgan
Banua Tongkonan Kabusungan Datu Baine
Manaek ri Nonongan Sumurruk tama Rampanan
Kapa’ Mengkulea’ tama Kaso Tumamben sola
Baine Sangkalamma’na Petimba Bulaan Rara
Bukunna Puang To Sopai.
Petta La Bantan dan Petimba bulaan berangkat ke Sangalla’ di Tongkonan To Manurun di Langi’ ri Kaero’ digente tu Membio Langi’ dan disana pemerintahannya digelari Matasak Risangalla’.
Toraa adalah nama asli suku Toraja yang mengandung arti sebagai berikut :
To adalah orang
Toraa adalah aturan
A adalah lambing Tongkonan



Toraa artinya orang yang hidup dengan aturan Tongkonan atau adat dan Aluk Tongkonan, Aluk ada’na pemali (AAP). Selanjutnya dikatakan bahwa Toraa adalah :
To Ungkasiri’ Nene’ Todolona
To Ungkasiri’ Rara Bukunna

Katanya seorang anak Tongkonan itu harus mengenal silsilahnya lima keatas dan lima kebawah minimal. Semakin tinggi diketahui maka orang itu akan dijuluki Bida.
Nene’ Todoan
Nene’ Salemberan
Nene’ Uttu’

Nene’ Mammi’
Tomatua
Anak
Ampo
Losu
Mimi’
Kandaure



Tanda Indo’ Tanda Ambe’ dan ini yang digelari To Ma’rapu Tallang To Sangkaponan Ao’ dan jika ditambah dengan Basse Situka’ maka inilah yang dikenal sebagai Keluarga besar yang akan terlibat langsung dalam adat budaya Toraja.

Evaluasi :
Soal Latihan !
1.Bagaimanakah kedatangan leluhur orang toraja ?
2.Bagaimanakah sejarah Asal Usul nama suku toraja ?
3.Siapakah nama anak dari Puang Lakipadada yang menikah dengan cucu raja gowa yang bernama Andi Tara Lolo ?
4.Apakah nama sebutan orang dalam suku toraja yang paling tinggi mengetahui tentang silsilah keluarganya ?
5. siapakah nama anak dari Pong Mula Tau yang menikah dengan Sanda Bilik?





BAB II
TONGKONAN SEBAGAI RUMAH
ADAT RUMPUN KELUARGA
A. PENDAHULUAN
Mata Pelajaran : Sastra dan Kebudayaan Suku Toraja (MULO)
Kelas/Semester : VIII /II (dua)
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Pertemuan :
• Sasaran Pembelajaran :
Siswa di harapkan mampu :
• Mengetahui Berdirinya sebuah Tongkonan
• Mengetahui Jenis-jenis Tongkonan
• Mengetahui Ungkapan-ungkapan ritual adat toraja
B. Bahan Pembelajaran

1.1 Berdirinya Sebuah Tongkonan

Sejarah datangya nenek moyang orang Toraja di daerah Lepongan Bulan Matarik Allo sudah menjelaskan Bahwa leluhur itu
datang sebagai To Arroan atau iring-iringan perahu atau lembang.
Mereka menyebar masing-masing memilih pulau-pulau kecil dan pulau-pulau kecil itulah yang sekarang ini dikenal sebagai gunung atau Buntu. Menurut Kada disedan sarong ditoke’ tambane baka bahwa berdirinya Tongkonan itu melalui tiga prose yaitu:
1. Rumah pertama itu dibuat di laut dengan ungkapan :
Mebanua doing liku
Metondok dibura-bura
2. Rumah yang kedua diatas pohon, dengan ungkapan :
Mebanua ditoke’
Metondok dianginni
3. Proses rumah yang ketiga diatur melalui satu musyawarah atau kombongan adalah :
“Iatu banua ladipopendemme’ do te kapadanganna”.







Leluhur masing-masing memilih tanah yang dianggap baik dan cocok untuk mendirikan rumah dan itulah sebabnya ada ungkapan “Napilei langsa’mi nenek tu padang natonno’’ bua kayu tasakmi tondolota tu pangleon, napabendanni banua, naosokki lando longa’. Pada mulanya rumah itu belum dilonga karena mereka masih mencoba apakah lokasi itu cocok untuk melaksanakan kegiatan Tallu lolona, yaitu :
 Lolo tau
 Lolo tananan
 Lolo patuan
Ada dua hal pokok yang menentukan keberhasilan lokasi tanah itu, yaitu :
1. Melaksanakan Aluk Puang Dao Langi’ Sangka turun di Bintoen demme’ do te kapadanganna.
2. Alukna Tallulolona.
Jika kehidupan Tallu lolona berhasil atau dengan kata lain lahir anak yang seat, tanaman tumbuh dengan subur, peternakan ayam, babi dan kerbau berkembang biak, maka itu berarti sukses dengan ungkapan :
Torro pariamo nisung pataranakmo
Alukna tallulolona dio tondon to batangna
Itu berarti rumah itu akan dikembangkan menjadi Tongkonan dengan ungkapan :
Bendan matoto’mo inde banua bintinmo inde sembang pentionganan anna diossokkimo Lando Longa
Artinya ini diberikan tanda longa sebagai syarat satu Tongkonan dan pendirinya disebut sebagai To Mangraruk Tongkonan
Pada awal To Mangraruk tongkonan (pendiri) juga sekaligus sebagai : To Tumoke Buria’. Artinya orang yang memelihara Tongkonan dan bertanggung jawab kedalam dan keluar.
Sekaligus juga sebagai orang yang tinggal di atas rumah tongkonan yang dinamakan To Urrambu Tongkonan .
Disini ada pemahaman yang kuat bahwa jika tongkonan itu tidak dirambu, artinya tidak ada orang yang tinggal di atas maka dalam waktu singkat rumah Tongkonan itu akan roboh atau lokasinya dilanda musibah.
Tongkonan itu diberikan nama sesuai Nilai yang dimiliki oleh pendirinya yakni To Mangraruk Tongkonan, jika tongkonan sudah diberikan Lando Longa itu berarti nene’ To Mangaruk akan meninggalkan amanah dan pesan kepada anak, cucu, cicit secara berkesinambunga hingga pada saat sekarang ini dan seterusnya, dengan ungkapan :
Nasedanni nene’tu Kada susi sarong
Natoke’ tambane bakami tu Bisara
Kumua E…. Kamu bati’ siosso’ku anak ampo’
Mimi’ kandaureku kilalai Robok Oi, Sulunni da’
Anna doing padang da’ anna bai uai

Hal ini disebabkan karena lambang kebesaran rumpun keluarga dari nene’ To Mangraruk. Semakin lama kehidupan ini berjalan semakin kesatuan rumpun keluarga semakin dibutuhkan dalam tatanan social kemasyarakatan di desa. Bahkan sekarang ini tatanan itu sudah meluas kekota dan daerah lain akibat adanya semangat petualangan leluhur. Dengan ungkapan :
Maleko lolang dao te kuli’na padang

Male ulleanni buntu ullambanni tasik kalua’
Osokko rakka’ Sangpulomu anna to’do ma’pu’mu anna
Sa’dingngi nene’ Pong Tulak Padang doing To
Matua anna ra’pak Passakena anna membura
Rakka’ sangpulomu.
Apa lamukilalai iatu pa’barang barangan lino tato’ lai’ Dilese Diudung
Suleko Ma’tangke putomali umpellambi’ tananan lolomu
Dio tongkonan anna sende paiman Tolo’dok tokayangan To Ma’rara buku To Ma’rapu Tallang to Sangkaponan Ao’ umpudi Puang Titanan Tallu Tirindu Patoko dao Langi’ Ma’Gulung gulunganna.
Wibawa Tongkonan sangat ditentukan oleh keutuhan rumpun keluarga mendukung orang yang dituakan menjadi To Tumoke’ Buria’
sebagai kepala suku.ungkapan yang memperkuat kedudukan Tongkonan sebagai rumah adat rumpun keluarga adalah :
1. Tongkonan ditimba uainna
2. Tongkonan dikalette’ tanananna
3. Tongkonan dire’ tok kayunna
4. Tongkonan den kombongna
5. Tongkonan dipoada’ada’na
6. Tongkonan dipoaluk alukna
7. Tongkonan dini dadi
8. Tongkonan dini mate
Topngkonan dini ungkasiri’ rara buku diomai nene’Todolota. Semua kegiatan budaya keluarga sebaliknya dilaksanakan Tongkonan dan itulah sebabnya ada ungkapan Tongkonan dini Masara’ Tuka’ sia Solo’ .
Dahulu semua kegiatan budaya yang disebut Sara’ rambu tuka’ dan rambu solo’ mengarah kepada penyembahan sesuai Aluk Todolo. Yang disembah dan dipuja adalah Puang Titanan tallu Tirindu Patoko dao Banua Puang do Langi’. Tongkonan dilambangkan sebagai Ibu dan alang sebagai Bapak. Lumbung padi atau alang merupakan lambang keberhasilan ekonomi Tallu lolona dan disamping itu pula berfungsi sebagai gambaran salah satu kenikmatan persekutuan didunia, sebagai tempat menerima tamu
adat, tempat para pemimpin To Parengnge’, Puang Tallu Lembangna, MaDika Matasak, Ambe’ sia Indo’ lan tondok bila ada upacara budaya. Oleh sebab itu alang selalu berada di sebelah utara tongkonan saling berhadapan dan tidak boleh di selatan. Kelestarian dan pemugaran tongkonan di Tana Toraja pada masa mendatang sangat ditentukan oleh pemahaman generasi akan dinilai Tongkonan dan adat budaya Toraja.

2.2 Jenis Jenis Tongkonan
Tongkonan pada mulanya berdirinya diberikan nama sesuia Nilai yang dimiliki oleh To Mangaruk Tongkonan di dalam sau wilayah adat. Nilai yang dimiliki terutama berpedoman pada keterampilan dan keberhasilan didalam empat bidang kehidupan yaitu :
• Keagamaan (Ada’ aluk na Pemali)
• Kepemimpinan Tallu silolok
• Ekonomi tallu lolona
• Ada’ budaya rambu tuka’ rambu solo’
Keberhasilan dan keterampilan dibidang Aluk Puang Dao Langi’ menyebabkan Tongkonan itu dinamakan sebagai Dao Langi’ menyebabkan Tongkonan itu dinamakan sebagai Tongkonan Peseo’ Aluk atau Tongkonan Kaindoran. Dahulu sebelum adanya To Padatindo To Misa’ Pangimpi, Tongkonan Peseo’ Aluk inilah
yang memegang peranan utama didalam kehidupan masyarakat didesa-desa.
Semua Tongkonan didalam desa difungsikan masing-masing mempunyai tugas didalam sara’ atau upacara adat, yaitu :
Tongkonan yang Ma’pesung
Tongkonan Yang Ma’kikki
Tongkonan yang Mantobok
Tongkonan yang Masserek Bane’
Tongkonan Yang Mangngira’
Tongkonan yang Massanduk dan sebagainya sesuai dengan aluk todolo yang dinamakan Aluk Sanda Pitunna.
Sekitar abad ke 17 terjadi perubahan jenis Tongkonan didalam setiap Lembang atau desa. Pada saat itu kerajaan Bone sangat berpengaruh di Sulawesi selatan dan salah satu daerah yang belum takluk adalah Padang Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Penyerbuan pasukan kerajaan bone dihancurkan oleh perlawanan To Padatindo To Misa pangimpi’ yang muncul dari setiap Lepongan Tondok. Peristiwa heroic ini ini menimbulkan semangat tempur yang sangat tinggi didalam mempertahankan kedatangan Lepongan Bulan Matarik Allo, dengan ungkapan :
Misa’ kada dipotuo
Pantun kada dipomate
Sangkutu’ Banne
Sangbuke Amboran
Artinya :
Satu kata satu tindakan menuju hidup
Banyak kata banyak pendapat akan menuju kepada kematian
Oleh sebab itu :
Harus bersatu kompak
Satu gerak dan satu tindakan
Keberhasilan To padatindo’ To Misa’ Pangimpi ini menimbulkan kepemimpinan baru dalam setiap Lembang atau desa. Masing-masing To padatindo’ To Misa’ Pangimpi kembali membentuk Tongkonan Layuk sebagai ketua dan memilih beberapa Tongkonan menjadi pembantu Tongkonan-tongkonan tersebut dinamakan Tongkonan Kaparengngesan dan Tongkonan Layuk sebagai pemimpin atau Sokkong Bayu.
Pembebentukan Tongkonan Kaparengngesan di setiap desa itu berbeda-beda karena ungkin dahulu ditetapkan sebagai kesepakatan setiap desa oleh Ambe’ Tondok. To Parangnge’ artinya orang yang bertanggung jawab atas keamanan dan kebaikan desa.
To Urengnge’ Tobuda Lan Tondok.
Selanjutnya ada juga Tongkonan yang oleh karena keberhasilan ekonomi Tallu lolona maka tongkonan itu dinamakan
Tongkonan Pa’buntuan Sugi , artinya memiliki banyak padi, ikan , ayam, babi dan kerbau. Tongkonan ini berfungsi untuk membantu To Parengnge’ didalam mengatasi kesulitan pada upacara adat, jika To Parengnge’ harus turun tangan mengadakan bahan seperti babi atau kerbau dan lainnya.

Untarek Lindo Piona
Tongkonan lainnya dinamakan Tongkonan Kadadian , artinya dari tongkonan inilah nene’ dilahirkan. Tongkonan kadadian atau batu a’riri ini sebahagian juga disebut Tongkonan Patulak yang berarti bahwa tongkonan tersebut ikut mendukung Tongkonan Kaparengngesan, dan To Tomoke’ Buria’ disebut Ambe Tondok. Ambe tondok dan generasinya bias diangkat menjadi To Parengnge atau pemimpin dengan pembuktian silsilah keturunan minimal lima generasi pihak bapak dan pihak ibu.
Nene’ Todoan
Nene’ Salemberan
Nene’ Uttu’
Nene’ Mammi’
Tomatua.



1.3 Syair-syair dalam acara adat istiadat suku toraja
Salah satu syair awal dari bating yang dilantunkan pada acara tarian ma’badong a:
“Umbamira sang tondokna, tomai sang banuanna ,sang to’doan tarampakna.
Ke’de’ko ta tannun bating, tana pana’ta’ rio-rio
Rio-rio memtarampak, bating messa’ de banua
Mariokan kami, makarorrong silelekan, rammangkan massolanasang, sukkunkan angge mairi’.”
Evaluasi
Soal-soal Latihan

1. Sebutkan 3 proses berdirinya Tongkonan menurut Kada disedan sarong ditoke’ tambane baka !
2. Sebutkan 3 jenis kegiatan tallu lolona !
3. Ada dua hal pokok yang menentukan keberhasilan lokasi tanah, sebutkan dan jelaskan
4. Apakah yang dimaksud dengan To Tumoke Buria’ ?
5. Sebutkan jenis-jenis rumah tongkonan yang kamu k
BAB III
Tarian Pitu
B. PENDAHULUAN

Mata Pelajaran : Sastra dan Kebudayaan Suku Toraja (MULO)
Kelas/Semester : VIII /II (dua)
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Pertemuan
• Sasaran Pembelajaran
Siswa diharapkan mampu : Mempraktekan salah satu Tarian
daerah Toraja









C. Bahan Pembelajaran
Tarian pitu adalah tujuh macam cara leluhur orang toraja dahulu kala memutuskan suatu perkara yang sulit dipecahkan secara musyawarah dan mufakat.
Ketujuh cara itu adalah :
1. Sidemme’ Padang
Hal ini dipakai jika sengketa mengenai tanah atau batas tanah. Mereka bersumpah demi tanah, demi Puang Matua dan dengan demikian yang kalah atau yang tidak benar akan segera menemui ajalnya dalam waktu 3 sampai & hari


Sidemme’ Padang


2. Sirari Sangmelamb’
Cara ini dipakai jika terjadi sengketa karena perkelahian. Siapa yang banyak mati akan merasa kalah dan dinyatakan bersalah
3. Sipakoko
Cara ini adalah memasukkan tangan kedalam air panas yang sedang mendidih. Siapa yang tidak tahan dan dilukai air panas akan dinyatakan kalah dan yang menang adalah yang tangannya tidak kepanasan dan tidak luka
4. Siluang Sambu
Cara ini adalah kedua orang bersengketa dimasukkan ke dalam selimut yang kuat dan diberikan pisau untuk saling menikam. Siapa yang mati dinyatakan kalah dan yang hidup itu menang
5. Siba’ta do tampo
Cara ini adalah bahwa kedua orang yang bersengketa masing-masing memegang parang dan berdiri diatas pematang sawah. Setelah mendapat aba-aba dari To’ Parengnge (To Padatindo To Misa’ Pangimpi) maka keduanya maju saling mendekat dan saling


menebas parangnya. Siapa yang mati dinyatakan kalah dan yang hidup dinyatakan menang.
6. Siukkunan
Cara ini adalah cara yang agak lunak karena ditentukan oleh kemampuan menyelam. Siapa yang lama menyelam didalam air sungai yang dalam maka ia akan dinyatakan menang.
7. Silondongan
Cara ini adalah dengan jalan masing-masing pihak yang bersengketa memilih ayam jago untuk diadu sebagai pengganti manusia. Siapa yang ayamnya mati maka ia dinyatakan pihak yang bersalaH












GAMBAR RUMAH TONGKONAN TORAJA
A. PENDAHULUAN
Mata Pelajaran : Sastra dan Kebudayaan Suku Toraja (MULO)
Kelas/Semester : VIII /II (dua)
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Pertemuan :
• Sasaran Pembelajaran :
Siswa di harapkan mampu :
a. Mengetahui Berdirinya sebuah Tongkonan
b. Mengetahui Jenis-jenis Tongkonan

B. Bahan Ajar

1. Bentuk Asli Tongkonan
Bentuk asli Tongkonan dewasa ini sebahagian mengalami perubahan sesuai perkembangan nilai dalam rumpun keluarga. Berbagai kondisi secara moderat orang Lakukan, dimana Tongkonan dibangun dan diletakkan di atas bangunan rumah batu. Barangkali hal ini praktis, efektif dan efisien tetapi keaslian
Tongkonan itu sudah mulai menurun. Kalau bahan yang diganti seperti atap bamboo yang sudah mulai berkurang itu diganti dengan atap atau sirap, maka mungkin tidak terlalu menganggu keasliannya. Ketidakaslian juga Nampak pada ruangan dalam, tetapi jika ruangan diperluas dan dapur diatas rumah dipindahkan maka mungkin hal itu tidak mempengaruhi keaslian rumah tongkonan. Yang penting dijaga adalah pandangan bentuk dari luar harus tetap menampakkan keasliannya. Perubahan lain yang terjadi dizaman sekarang ini adalah pemindahan lokasi tongkonan yang mulai bergeser dari atas gunung dan mendekat kejalan raya. Hal itu terjadi karena pembangunan jalan oleh pemerintah desa terlambat dilaksanakan atau tidak disesuaikan dengan kepentingan Tongkonan. Peminahan dan pergeseran lokasi tongkonan seharusnya tidak boleh keluar dari areal Kombong Tongkonan mengingat tempat dan areal itu sudah dipatenkan oleh Nene’ To Mangaruk (tanah adat tongkonan). Tongkonan harus selalu menghadap utara selatan dan diberikan Longa yang Simuane tallang , artinya satu utara dan satu keselatan. Hal ini merupakan satu prinsip dasar oleh yang oleh leluhur dinamakan : Dandanan sangka’. Sesuai dengan Aluk Sanda Pitunna yang khusus dalam hal ini disebut Alik Banua. Kalau lain dari pada itu maka leluhur mengatakan itu adalah Randanan Sangka’ yang artinya orang akan menunggu apakah itu baik atau tidak karena untengkai kalo’ ada’ napamoroson nene’ Todolo.
Walaupun di Indonesia falsafah pancasila membenarkan lima agama sehingga kita tidak lagi wajib mengikuti Aluk Sanda Pitunna atau Aluk todolo, tetapi jangan lupa bahwa ada hal dan perilaku yang merupakan Nilai bersama orang toraja yaitu Adat Budaya Toraja. Nilai bersama itu melekat pada fungsi tongkonan yang dewasa ini berkembang secara moderat dan menjadi salah satu pendukung kekuatan budaya nasional Indonesia. Aluk todolo atau Alukta tidak mungkin lagi melesatarikannya sendiri tetapi harus secara bersama dengan berbagai pengecualian ritus yang tidak sesuai dengan teologi masing-masing agama.
Rambu Tuka’ dan Rambu solo’ sangat erat hubungannya dengan posisi lokasi tongkonan yang utara selatan dan bukan timur barat. Alang harus berada disebelah utara dan bukan sebelah selatan Tongkonan. Hal ini adalah prinsip adat budaya toraja karena Rambu tuka’ dan rambu solo’ sangat erat hubungannya dengan posisi lokasi tongkonan utara selatan. Leluhur tidak pernah berpesan bahwa Longa itu boleh dipotong sebelah karena longa adalah tanda sacral di tingkonan sebagai suatu tanda berkat Tuhan dengan ungkapan Longa Passakkena Puang Lan Te Padang Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Longa boleh dipauwang dan dipotong hanya sebelah tidak simuane tallang pada bangunan yang dinamakan Banua Tang Merambu’ . atau pada rante tomate dimana dilaksanakan upacara
rambu solo’ karena areal ditongkonan tidak memungkinkan. Rumah dan semua bangunan tempat mengusahakan kehidupan baik (Tuomelo) wajib mengikuti dandanan sangka’. Dandanan sangka’ itu adalah merupakan nilai yang harus dipertahankan dan dilakukan sebagai suatu pernilaian dan itulah yang muncul sebagai budaya toraja. Penilaian itulah yang orang toraja namakan sebagai Sara’.


Tongkonan Rumpun Keluarga

Tongkonan Lumbung Padi


2. Ukiran dan Warna Tongkonan
Dasar ukiran tongkonan ada empat macam yaitu :
 Pa’ Bareallo
 Pa’ Tedong
 Pa’ Londong atau Pa’Manuk
 Pa’sussu’
Pa’ bareallo adalah ukiran yang melambangkan Padang lepongan bulan matarik allo dan dibuat/dipasang didepan dan dibelakang para tongkonan. Disamping itu pa’ bareallo jiga melambangkan kebesaran nenek moyang sebagai To MAnurun di Langi’ To’ Bu’tu ri uai dan Sae dio Mai Engkokna Bulan Padang.
Pa’ Tedong adalah lambang kekuatan karena kerbau adalah lambing kekuatan karena kerbau adalah binatang terkuat di Tana Toraja secara fisik, dan juga didasari oleh leluhur bahwa daging kerbau itu juga memberikan kekuatan fisik kepada kepada rakyat di desa. Pa’tedong ini ini memberikan motivasi Tallu lolona yaitu agar rumpun didesa berusaha memelihara kerbau dan mengembangbiakkan. Motivasi inilah yang menyebabkan pemeliharaan kerbau di tana toraja secara intensif dengan nama Massoma. Oleh sebab itu maka didepan dan dibelakang tongkonan diberikan lambing kepala kerbau lengkap dengan tanduknya dan dinamakan Kabongo’. Biasanya kabongo’ itu dipilih bentuk kerbau

yang terbaik sesuai dengan nilai To Tumoke’ Buria’ dan rumpun keluarga atau jabatan tongkonan didalam desanya. Ukiran Pa’tedong lainnya dipasang pada dinding utama sekeliling badan tongkonan.
Pa’londong atau Pa’ Manuk adalah ukiran yang melambangkan keperkasaan leluhur sebagai ayam jantan yang selalu mampu berkokok memberikan tanda waktu kehidupan dan mampu berkelahi jika diperlukan atau ada yang menganggu keamanan daerah dengan ungkapan Londongna muane.
Pa’ sussu’ adalah ukiran yang melambangkan kesatuan dan persatuan dengan rumpun keluarga dan semua orang dalam Lepongan bulan matarik allo. Biasanya ukiran ini tidak diberikan warna oleh karena disitu tidak ada perbedaan satu dengan yang lain. Semua orang sama didalam kesatuan dan persatuan dengan ungkapan :
To sangkutu’ banne
To sangbuke Amboran
To sangpetayanan kedenni to palututombang
To urromok bubun dirangkang
To unteka’ kaluku lundara

Selanjutnya ukiran tongkonan dikembangkan oleh leluhur melalui To pande banua dengan meletakkan dasar seni pada beberapa factor yaitu :
• Lolona Tananan
• Lolo Patuan
• Dan lain-lain semacamnya.
Untuk melihat pengembangan ukiran tersebut penuh sempat melaksanakan tugas di badan pekerja sinode gereja toraja sebagai direktur diakonia dan melaksanakan satu program yang dinamakan : Toraja Handicraft Training
Pelaksanaan training ini dilaksanakan atas kerjasama departemen perindustrian di Makale dengan pemberian sertifikat kepada peserta. Training ini meliputi pengawetan bahan baku dan pengembangan kwalitas ukiran.
Warna ukiran tongkonan ada empat macam yaitu :
• Kuning
• Putih
• Merah
• Hitam

Warna kuning melambangkan keagungan dan kebesaran leluhur sebagai To Manurun di langi’. Warna putih melambangkan kebersihan dan kejujuran seorang pemimpin yang digelar Bida dan Kinaa. Biasanya dilambangkan dengan memakai selimut putih yang dinamakan Sambu’ Busa.
Warna merah melambangkan keberanian dan kejantanan pemimpin dalam mempertahankan kebenaran dalam kehidupan bersama Mattali Rarang.
Warna hitam melambangkan kehidupan manusia yang penuh tantangan dan pada akhirnya akan mati dan berangkat kedunia yang gelap di Matampu’ dan terus ke Puya. Itulah sebabnya sehingga pada upacara serba hitam yang dinamakan Pote di Bolong atau Massanda Malotong.
Pada upacara rambu tuka’ atau pesta keberhasilan Lolo tau didalam kerja pembangunan dan ekonomi Tallu Lolona dipakai tanda upacara yang berorientasi pada warna kuning, merah dan putih sedang warna hitam tidak boleh menonjol.

Kenapa leluhur hanya memilih empat warna tersebut diatas tidak terlalu jelas tetapi mungkin ada kaitannya dengan Sulapa’ A’pa’ atau mungkin karena warna lain sudah dianggap cukup diwwakili oleh warna warni dari lingkungan alam sekeliling. Pengembangan warna hingga dewasa ini belum Nampak pada generasi pelanjut didalam bidang kerajinan ukiran toraja. Mungkin juga pengembangan warna itu tidak akan terjadi karena ada pendapat bahwa jika warna ukiran bertambah maka keunikan tongkonan dan kerajinan Toraja lainnya akan menjadi berkurang
Ukiran-Ukiran rumah tongkonan :

Paqbulu Londong



Pa’bareallo


Pa’tedong

EVALUASI
Soal-soal Latihan
1. Bagaimanakah bentuk asli dari rumah tongkonan ?
2. Apakah yang dimaksud dengan massoma ?
3. Apakah yang dimaksud dengan sara’?
4. Sebutkan dan jelaskan ukiran-ukiran rumah tongkonan toraja !
5. Sebutkan dan jelaskan makna warna-warna ukiran rumah tongkonan !
6. Gambarkan salah satu ukiran- ukiran rumah tongkonan !
7. Gambarkan kerangka rumah tongkonan toraja yang kamu ketahui


Bab IV
Tongkonan Sebagai Pusat Ilmu dan Kehidupan Generasi
A. Pendahuluan
Mata Pelajaran : Bahasa Daerah (Mulok)
Kelas/semester : VIII/II
Alokasi Waktu : 2x45 menit
Pertemuan : VII-VIII/Tujuh-delapan
• Sasaran Pembelajaran : Setelah mengikuti pembelajaran siwa diharapkan mampu :
1. Mengetahui fungsi rumah tongkonan sebagai falsafah agama
2. Mengetahui fungsi rumah tongkonan sebagai falsafah ekonomi
3. Mengetahui fungsi rumah tongkonan sebagai falsafah kepemimpinan
4. Mengetahui fungsi rumah tongkonan sebagai falsafah adat budaya



B. Bahan Pembelajaran

Mengapa harus dikatakan bahwa Tongkonan itu sebagai pusat ilmu dan kehidupan generasi muda oleh karena dari atas Tongkonan itulah leluhur menyampaikan AMANAH dan PESAN kepada generasi muda sebagai pelanjut kehidupan keluarga. Ada empat amanah dan pesan leluhur yang diuraikan sebagai suatu falsafah Tongkonan.

A. Falasafah Agama

Tongkonan sebagai tempat tongkon atau duduk melaksanakan pertemuan-pertemuan yang dinamakan KOMBONGAN. Kombongan itu biasanya diadakan dalam satu wilayah adat dinamakan TO INDO’ yang berada di Tongkonan Peseo’ Aluk. Ada dua macam Aluk yang dikenal di Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo yaitu :
 Aluk Sanda Pitunna
Aluk Sanda Pitunna dikembangkan oleh To Manurun di Langi’ Puang Bura Langi’, tetapi dilanggar oleh anak cucunya yang bernama LONDONG di RURA dan anaknya bernama Bobong Bulaan dan Salampe Manikna, sehingga Puang Matua Dao Masuanggana marah dan menyebebkan TALLAN PADANG DI RURA. Adapun ungkapan Aluk Sanda Pitunna :
Pitu Sariunna
Pitu Tampangna
Pitu Kotekna
Pitu Sa’bunna
Pitu Ratu’na
Pitu Pulona
Pitu Lise’na

Penginjil Gereja Toraja dan Sosiolog Pdt.Dr.. Van Der Vyn di Tangmenteo mengatakan bahwa Aluk Sanda Pitunna itu luar biasa danhanya memiliki perbendaharaan berupa Kada diseran sarong dan Bisara ditoke’ Tambane Baka. Artinya hanya diucapkan dari mulut ke mulut sebagai suatu amanah dan pesan yang berkesinambungan.
 Aluk Sanda Saratu’
Aluk Sanda Saratu’ dikembangkan oleh To Manurun di Langi’ Puang TAMBORO LANGI’ di Kandora dan disebarkan di daerah Tallu Lembangna Tallu Batupapan. Hal yang penting dan menarik untuk diketahui oleh generasi muda ialah berbagai ungkapan unik dan indah serta memiliki filosofi yang sangat tinggi dan teologis.

B. Falsafah Ekonomi
Ekonomi Tongkonan atau ekonomi rumpun keluarga didasarkan atas tiga faktor pokok yaitu :
 Lolo Tau
 Lolo Tananan
 Lolo Patuan
Tiga faktor ini adalah factor yang menentukan keberhasilan dalam bidang :
 Sumber Daya Manusi – Lolo Tau
 Sumber Daya Alam Pertanian – Lolo Tananan
 Sumber Daya Hewani Peternakan – Lolo Patuan
Hal ini sangat sederhana tetapi mencakup tiga mahluk Tuhan yang hidup saling membutuhkan. Tiga mahluk ciptaan Tuhan itu harus hidup dengan baik di bawah kuasa Puang matua tetapi pengelolaannya ditentukan oleh kemampuan Lolo Tau. Hukum Ekonomi Tallu Lolona diisyaratkan oleh leluhur dengan ungkapan :
 Da’mu lutu tombangngi tu Aluk Puang do Langi’ Puang Titanan Tallu Tirindu Patoko Do Masuanggana To Palullungan, yang artinya : Jangan Melanggar Hukum Tuhan.
 Da’mu sengngongngi balatana bisaranna kaso tumamben yang artinya jangan melanggar Adat Perkawinan.
 Da’mu tengkai kalo’I tu basse mangka na pamaroson nene’ todolota yang artinya jangan melanggar Adat Budaya berupa Aluk Ada’na Pemali (AAP)

Tiga hukum ekonomi Tongkonan ini diyakini sebagai penentu keberhasilan hidup leluhur orang Toraja pada masa lampau dan mungkin sampai pada masa sekaang ini oleh karena tidak ada satupun yang tidak sesuai dengan teknologi masa kini.
Jika hukum atau basse ini diperhatikan dengan baik maka jaminan keberhasilan leluhur dinyatakan dengan ungkapan :
Torro pariamo nisung pataranakmo
Alukna tallulolona dio tondon to batangmu
Ammu ma’sompo ma’kepak ma’takia’ patomali
Artinya Anak akan lahir dengan selamat dan yang sehat laki-laki akan disompo, perempuan dikepak dan yang sudah berjalan dipegang tangannya.

C. Falsafah Kepemimpinan
Falsafah kepemimpinan Tongkonan ini tidak diketahui pasti apakah lahir bersamaan dengan datangnya leluhur ataukah dikembangkan oleh To Padatindo To Misa’ Pangimpi. Faktor kepemimpinan Tongkonan yaitu :
 Manarang na kina
Kinaa artinya Pintar dan Bijak. Pintar artinya memiliki ilmu atau ada pengetahuan dan pengalaman tetapi kata leluhur pintar itu belum cukup karena banyak orang pintar lebih pintar merusak. Kepintaran itu diperlukan tetapi harus bersatu dengan kebijakan, karena orang yang bijak tidak akan melakukan yang merusak kepentingan orang banyak termasuk dirinya. Orang bijak (Kinaa) itu orang yang takut kepada Tuhan Allah.
 Sugi’ na Barani
Sugi’ artinya dia memiliki sarana dan fasilitas ekonomi yang menunjang kebutuhan sebagai seorang pemimpin. Barani artinya berani dalam mempertahankan kebenaran sesuai adat budaya luhur. Berani menghadapi musuh dari luar, bisa berperang dan juga berani berkorban bagi orang lain.
Pada saat diperlukan dalam upacara adat budaya, seorang pemimpin duduk di atas alang dan diberikan makanan sambil matanya melihat sekeliling apakah semua orang sudah mendapat makanan. Jika ternyata makanan atau lauk pauk tidak cukup maka To Parengnge’ atau pemimpin itu menarik Lindo Piona, sambil marah memanggil Panggaa Bamba. Panggaa Bamba atau panitia yang diperintahkan untuk mengambil lagi tambahan apakah ayam, babi, nasi atau kerbau. Pemimpin berkorban atas dukungan Tongkonan Pa’ Buntuan Sugi’ dan Tongkonan Patulak

 Bida
Bida artinya seorang pemimpin itu menguasai ilmu Tongkonan yang terdiri dari :
1) A’pa’ Sulapa’ kada disedan sarong, bisara’ ditoke’ tambane’ baka
2) Daerah-daerah adat Lepongan Bulan Matarik Allo
3) Pengalaman adat budaya Rambu Tuka’ / Rambu Solo’
4) Menguasai ungkapan-ungkapan Gora Tongkon atau bahasa Tongkonan, bahasa Lepongan Bulan Matarik Allo
Factor kepemimpinan ini hanyalah merupakan bahan pengetahuan generasi muda sebagai pembanding fackor kepemimpinan modern dewasa ini.
D. Falsafah Adat Budaya
Aluk, adat dan pemali yang mampu dibawa oleh Pong Paku Lando bersama Puang Bura Langi’ dari atas Banua Puang Do Langi’ itu adalah sebanyak Sanda Pitunna.
ALUK SANDA PITUNNA
Pitu Sariunna
Pitu Tampangna
Pitu Kotekna
Pitu Sa’bunna
Pitu Ratu’na
Pitu Pulona
Pitu Lise’na


Dari sekian banyak macam aluk, adat dan pemali yang dianut oleh leluhur pada masa lampau, ternyata dapat disederhanakan menjadi hanya dua macam saja yaitu Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’, Aluk Simuane TallangSilau’ Eran. Ini adalah hal yang luar biasa, karena leluhur orang Toraja mampu menyederhanakan berbagai macam kegiatan budaya menjadi hanya dua macam dengan berpedoman pada dua factor yaitu :
 Lokasi Tongkonan dengan posisi Utara Selatan
 Putaran matahari, sedang naik dan sedang turun
Walaupun Sara’ itu ada rambu atau asap, artinya ada kegiatan pemotongan hewan budaya tetapi nama itu melekat pada apakah matahari sedang naik atau sedang turun.

 Evaluasi
Soal-soal Latihan
1. Jelaskan maksud dari Tongkonan sebagai falsafah agama
2. Sebutkan bunyi dari ungkapan Aluk Sanda Pitunna !
3. Sebutkan tiga faktor utama ekonomi Tongkonan
4. Sebutkan dua factor kepemimpinan Tongkonan
5. Sebutkan falsafah yang terdapat dari fungsi Tongkonan









BAB VI
Tarian Khas Toraja
A. Pendahuluan
Mata Pelajaran : Bahasa Daerah (Mulok)
Kelas/semester : VII/II
Alokasi Waktu : 2x45 menit
Pertemuan :XIII/Tigabelas
• Sasaran Pembelajaran :
Setelah mengikuti pembelajaran siwa diharapkan mampu :
Mempraktekan tarian Pitu

B. Bahan Pembelajaran
Tarian Pitu adalah ttujuh macam cara leluhur orang Toraja dahulu kala memutuskan satu perkara yang sulit dipecahkan secara musyawarah dan mufakat.


Ke tujuh cara itu adalah :
1. Sidemme’ Padang
Hal ini dipakai jika sengketa mengenai tanah atau batas tanah. Mereka bersumpah emi tanah,demi Puang Matua dan dengan demikian yang kalah atau yang tidak benarakan segera menemui ajalnya dalam waktu tiga sampai tujuh hari.
2. Sirari Tang Melambi’
Cara ini dipakai jika tetjadi sengketa karena perkelahian. Siapa yang banyak mati akan merasa kalah dan dinyatakan bersalah.
3. Sipakoko
Cara ini adalah memasukkan tangan ke dalam air panas yang sedang mendidih. Siapa yang tidak tahan dan dilukai air panas akan dinyatakan kalah dan yang menang adalah yang tangannya tidak kepanasan dan tidak luka.
4. Siluang Tambu
Cara ini adalh kedua orang bersengketa dimasukkan ke dalam satu selimut yang kuat dan diberikan pisau untuk saling menikam. Siapa yang mati dinyatakan kalah dan yang hidup itu menang
5. Siba’ta do Tampo
Cara ini adalah bahwa kedua orang yang bersengketa masing-masing memegang parang dan berdiri di atas pematang sawah. Setelah mendapat aba-aba dari To parengnge’ (To Padatindo To Misa’ Pangimpi) maka keduanya maju saling mendekat dan saling menebas parangnya. Siapa yang mati dinyatakan kalah dan yang hidup dinyatakan menang
6. Siukknan
Cara ini adalh cara yang agak lunak karena ditentukan oleh kemampuan menyelam. Siapa yang lama menyelam di dalam air sungai yang dalam maka ia akan d8inyatakan menang
7. Silondongan
Cara ini adalah dengan jalan masing-masing pihak yang bersengketa memilih ayam jago untuk diadu sebagai pengganti manusia. Siapa yang ayamnya mati makan ia dinyatakan pihak yang bersalah.









BAB VII
Peninggalan Bersejarah
A. Pendahuluan
Mata Pelajaran : Bahasa Daerah (Mulok)
Kelas/semester : VIII/II
Alokasi Waktu : 2x45 menit
Pertemuan : XV/Limabelas
• Sasaran Pembelajaran : Setelah mengikuti pembelajaran siwa diharapkan mampu :
1. Mengetahui bangunan-bangunan bersejarah Toraja
2. Mengetahui goa-goa bersejarah Toraja
3. Mengetahui peninggalan bersejarah patung tau-tau


B. Bahan Pembalajaran
________________________________________
A. Bangunan Bersejarah
Selain memiliki keanekaragaman adat dan budaya, Toraja juga dikenal sebagai daerah yang memiliki banyak daerah atau bangunan-bangunan bersejarah. Beberapa bangunan bersejarah yang ada di Toraja yaitu:
1. Londa
Londa adalah kuburan yang berupa gua alam yang terletak di desa Sendan Uai, kecamatan Sanggalai, berjarak sekitar 7 kilometer di sebelah selatan kota Rantepao, Ibukota Kabupaten Tana Toraja.. Gua ini memiliki kedalaman sekitar 1000 meter, gelap, di beberapa tempat naik turun cukup terjal, dan sebagian hanya memiliki ketinggian sekitar 1 meter sehingga orang harus membungkuk melewatinya. Di dalam gua terdapat ratusan tengkorak dan ribuan tulang belulang yang sebagian sudah berumur ratusan tahun. Banyak juga peti-peti mati yang masih baru. Udara di dalam gua terasa sejuk, tidak pengap ataupun berbau meskipun di dalam gua terdapat banyak mayat. Londa dapat dicapai dengan kendaraan pribadi dari kota Rantepao. Dari jalan raya yang menghubungkan kota Rantepao dan Makale, masuk ke timur melalui jalan beraspal yang cukup bagus.

2. Patane Pong Pasangka
Patane (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun 1920 yang diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Palindatu memiliki anak Pong Massangka yang memiliki jiwa perlawanan terhadap Belanda sehingga ia dibuang ke Nusa Kambangan pada tahun 1917, dikembalikan ke Tana Toraja pada tahun 1930 dan meninggal dunia pada tahun 1960 dalam usia 120 tahun. Kini mayat Pong Massangka dengan gelar Ne’Ba’bu disemayamkan dalam Patane ini dan tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat.

3. Ta’pan Langkan
Ta’pan Langkan artinya istana burung elang. Pada abad XVII Ta’pan Langkan digunakan sebagai makam oleh lima rumpun antara lain Pasang dan Belolang’. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambing prestise dan kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di desa Rinding Batu. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang merambu untuk manusia yang sudah meninggal. Ta’pan Langkan termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan Makale-Rantepao dan juga memiliki panorama yang indah.

4. Tongkonan
Konon kata Tongkonan berasal dari istilah “tongkon” yang berarti duduk. Dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaaan adat dan perkembangan kehidupan social budaya mastarakat Tana Toraja. Rumah ini tidak bisa dimiliko oleh perseorangan, melainkan dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja. Dengan sifatnya yang demikian, Tongkonan mempunyai beberapa fungsi, antara lain : pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator, motovator dan stabilisator sosial.

5. Lemo
Lemo adalah tempat perkuburan dinding berbatu dan patung-patung (tau-tau). Jumlah lubang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambing-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.



Tau-Tau Dan Mumi
Tau Tau adalah replika atau tiruan dari orang Toraja yang sudah meninggal. Biasanya diletakkan di sekitar tempat jenasahnya dimakamkan.
Berasal dari kata Tau yang berarti orang atau manusia, dan disertai pengulangan Tau yang bermakna menyerupai, Tau Tau secara harafiah berarti orang-orangan. Dalam kepercayaan Alu’ To Dolo, -paham animisme sebelum agama Kristen, Katolik dan Islam masuk-, Tau Tau bukan melambangkan badan atau raga almarhum, melainkan simbol roh atau spirit sang almarhum yang tidak ikut mati, tetapi melanjutkan kehidupan lain di alam berikutnya sesudah kematian.
Ada tiga jenis kayu sebagai bahan dasar pembuatan Tau Tau berdasarkan status sosial orang yang meninggal.
1. Bilah bambu, untuk membuat Tau Tau almarhum dari strata status sosial terendah.
2. Kayu randu (kayu kapok dalam bahasa setempat) untuk membuat Tau Tau almarhum dari strata status sosial menengah.
3. Kayu Nangka, untuk membuat Tau Tau almarhum dengan strata sosial paling tinggi/bangsawan.


Tau-tau

Tau-tau






K
• Simuane tallang :Bagaikan sepasang atap bambu
• Kabusunganna : Rumah kediaman
• Mengkuleak : Tiada kelihatan lagi
• Rara bekunna : Keturunannya
• Nene’ dolona : Nenek moyangnya
• Basse situka’ : Suatu ikatan dalam pernikahan
• Sanka’ : Umpama,persamaan,teladan,contoh(terutama mengenai aturan- aturan adat juga boleh dipakai sebagai turutan)
• Pariamo : Berperan teguh
• Bintin : Amat kokoh(tidak terbantun atau terguncang)
• Patoko : Sem.rara’juga benar,juga buatannya licin saja
• Sangkaponan : Sekelompok
• Sangboke amboran: Seperti padi bakal ditabur
• Sukkun : Menghimpit,mndesak
• Kombong : Menjadi kental
• Urromok : Mengambil sesuatu dalam air dengan menggunakan kedua tangan
• Palututombang : Melanggar aturan yang telah disepakati
• Silau’ eran’ : Beraturan bagaikan anak tangga
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
ebuda dyaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
DAFTAR PUSTAKA
Sitonda,Natsir.2007.Toraja warisan Dunia. Pustaka Refleksi.Makassar.
Drs Tulak,Daniel. 2009.Kada disedan Sarong Bisara Ditoke’ Tambane Baka.Siayoka.Rantepao Tanah Toraja
Lebang,J.B. 2006. Samparan Pa’kadanna Toraya. Siayoka.Rantepao Tanah Toraja


udayaabudayaanuku toraj
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku torKebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
suku oraja
Kebudayaan suku toraja
n suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan suku toraja
Kebudayaan

Tidak ada komentar: